Kamis, 13 Juni 2013

Perundang-undangan Ketenagakerjaan SAP 7

Hukum Tenaga Kerja

Proses penegakan hukum bidang ketenagakerjaan selama ini dilakukan melalui upaya atau pendekatan persuasif-edukatif dengan mengedepankan sosialisasi serta informasi tentang peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Dalam tahapan awal, pemerintah memberdayakan para pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pembinaan dan sosialiasi kepada perusahaan-perusahaan dan pekerja/buruh agar bisa menjalankan aturan-aturan ketenagakerjaan.
Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan bersifat independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang mempunyai lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan baik di lingkungan pemerintah pusat, maupun di lingkungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib:
  1. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
  2. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Pengawas ketenagakerjaan selain bertugas melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil  berwenang:
  1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenaga kerjaan;
  5. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
  7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Produk Hukum tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang
    1. 24 Tahun 2011: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
    2. 02 Tahun 2005: Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menjadi Undang-Undang
    3. 39 Tahun 2004: Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
    4. 2 Tahun 2004: Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
    5. 13 Tahun 2003: Ketenagakerjaan atau di sini
    6. 21 Tahun 2000: Serikat Pekerja/Serikat Buruh
    7. 3 Tahun 1992: Jaminan Sosial Tenaga Kerja
    8. 1 Tahun 1970: Keselamatan Kerja
Peraturan Pemerintah
    1. 4 Tahun 2013 : Tata Cara Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh Pemerintah
    2. 3 Tahun 2013 : Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
    3. 97 Tahun 2012: Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Ijin Mempekerjakan Tenaga Asing
    4. 53 Tahun 2012: Perubahan Kedelapan atas PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
    5. 50 Tahun 2012: Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
    6. 41 Tahun 2011: Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, serta Penyediaan Prasaana dan Sarana Kepemudaan
    7. 84 Tahun 2010: Perubahan Ketujuh atas PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
    8. 01 Tahun 2009: Perubahan Keenam Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
    9. 46 Tahun 2008: Perubahan Atas PP No 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit
      [ Pelaksanaan Psl 107 (4) UU No 13 Tahun 2003 ]
    10. 15 Tahun 2007 : Tata Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja
    11. 64 Tahun 2005: Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
    12. 8 Tahun 2005: Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit (pelaksana pasal 107 ayat 4 UU no. 13 tahun 2003)
    13. 41 Tahun 2004: Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Pada Mahkamah Agung
    14. 23 Tahun 2004: Badan Nasional Sertifikasi Profesi
    15. 22 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan dan Investasi Dana Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
    16. 28 Tahun 2002: Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
    17. 83 Tahun 2000: Perubahan atas PP no. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagiamana sudah diubah dengan PP no.79 Tahun 1998
    18. 79 Tahun 1998: Perubahan atas PP no.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
    19. 14 Tahun 1993: Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Perpres/Keppres/Inpres 
    1. Perpres no. 12 tahun 2013: Jaminan Kesehatan
    2. Perpres no. 64 Tahun 2011: Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia
    3. Perpres no. 21 Tahun 2010: Pengawasan Ketenagakerjaan
    4. Instruksi Presiden no. 06 Tahun 2006  tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
    5. Perpres no. 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Produktivitas Nasional
      [ Pelaksanaan Psl 30 (3) UU No 13 Tahun 2003 ]
    6. Keppres no. 107 Tahun 2004: Dewan Pengupahan
    7. Keppres no. 88 Tahun 2002: Rencana Aksi Nasional Penghapusan perdagangan (Trafiking) Perempuan
    8. Keppres no. 87 Tahun 2002: Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
    9. Keppres no. 59 Tahun 2002: Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
    10. Keppres no. 46 Tahun 2000: Perubahan atas Keppres no. 29 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (UNTAET)
    11. Keppres no. 29 Tahun 1999: Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
    12. Keppres no. 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
    13. Keppres no. 51 Tahun 1989: Perubahan Keppres No. 28 Tahun 1988 tentang Besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Asuransi Sosial Tenaga Kerja
Peraturan/Keputusan Menakertrans
    1. Permenakertrans no. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain (Outsourcing)
    2. Permenakertrans no. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak
    3. Permenakertrans no. PER.07/MEN/IV/2008 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing
    4. PerMenakertrans no. Per.02/MEN.I/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengujian, Pemberian dan Pencabutan Sanksi Bagi Arbiter Hubungan Industrial
    5. KepMenakertrans no. KEP-48/MEN/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
    6. KepMenakertrans no. KEP-20/MEN/III/2004: Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
    7. KepMenakertrans no. KEP-228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
    8. KepMenakertrans no. KEP-201/MEN/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial
    9. KepMenakertrans no. KEP-172/MEN/2000 tentang Penunjukan Pejabat Pemberi Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang untuk Pekerjaan yang Bersifat Sementara atau Mendesak
    10. KepMenakertrans no. KEP-15A/MEN/1994 tentang Petunjuk Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja Di Tingkat Perusahaan dan Pemerantaraan
Peraturan/Keputusan Menkumham RI
    1. Surat edaran Dirjen Imigrasi Kemenkumham No. IMI-IZ.01.10-1217 tanggal 07 Juni 2010: Persyaratan dan visa dan ijin tinggal terbatas bagi pelajar/mahasiswa asing
Peraturan Menteri Dalam Negeri
    1. Permendag No. 50 Tahun 2010: Pedoman Pemantauan Tenaga Kerja Asing di Daerah
Peraturan/Keputusan Mendikbud
    1. Permendiknas 66 Tahun 2009 : Pemberian Izin Pendidik dan Tenaga Kependidikan Asing pada Satuan Pendidikan Formal dan Nonformal di Indonesia
    2. Prosedur Ijin Mengajar Tenaga Ahli Asing dan Tenaga Sukarela Asing
Top of Form
Bottom of Form

TENTANG
PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA KE LUAR NEGERI
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:


a. bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri merupakan upaya alternatif untuk mengatasi masalah pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja di dalam negeri;
b. bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri perlu ditingkatkan dalam bidang pemasaran, penyediaan tenaga kerja yang berkualitas, perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja yang dilaksanakan secara terpadu;
c. bahwa Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-02 /MEN/ 1994 tentang Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-44/MEN/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan sehingga perlu diubah;
d. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja.

Mengingat:

1. Undang - undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-undang pengawasan Perburuhan tahun 1948 no. 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia;
2. Undang-undang No. 4 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan pokok mengenai Tenaga Kerja.
3. Undang-undang No. 7 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan.
4. Undang-undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian;
5. Undang-undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran;
6. Keputusan Presiden R.I No. 28 tahun 1990 tentang Kebijaksanaan Pemberian Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri;
7. Keputusan Presiden R.I No. 122/M tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
8. Keputusan Presiden R.I No. 29 tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia;
9. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-28/Men/1994 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Tenaga Kerja;
10. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-92/men/1998 tentang Perlindungan TKI Melalui Asuransi;
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 167/Men/1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:

1.penempatan tenaga kerja Indonesia ke Luar Negeri yang selanjutnya disebut penempatan TKI adalah kegiatan penempatan kerja yang dilakukan dalam rangka mekanisme Antar Kerja, untuk mempertemukan persediaan TKI dengan permintaan di pasar kerja di luar negeri.
2. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut TKI adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja.
3. Tenaga Kerja Indonesia Pelaut yang selanjutnya disebut TKI Pelaut adalah tenaga kerja Indonesia yang memiliki kualifikasi keahlian atau keterampilan sebagai awak kapal di kapal asing dalam pelayaran internasional atau kapal asing dalam pelayaran nasional atau internasional dan jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja laut.
4. Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut PJTKI adalah badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi, yang berusaha di bidang jasa penempatan TKI ke Luar Negeri.
5. Surat Ijin Usaha Penempatan Perusahaan Jasa TKI yang selanjutnya disebut SIUP - PJTKI adalah ijin usaha bagi perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia untuk dapat melaksanakan penempatan TKI ke Luar Negeri.
6. Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah instansi pemerintah, atau badan usaha yang berbadan hukum atau perorangan di luar negeri yang mempekerjakan TKI.
7. Balai Penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut BP2TKI adalah unit pelaksana teknis di bidang penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri yang berada di bawah Koordinasi Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja.
8. Mitra Usaha PJTKI yang selanjutnya disebut Mitra Usaha adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di luar negeri yang bertanggung jawab menyalurkan TKI kepada Pengguna.
9. Perwakilan PJTKI di daerah yang selanjutnya disebut Perwada adalah perwakilan PJTKI yang
melaksanakan kegiatan penempatan TKI atas nama PJTKI di wilayah kerja tertentu.
10. Perwakilan PJTKI di luar negeri yang selanjutnya disebut Perwalu adalah badan hukum atau perorangan yang melaksanakan kegiatan untuk dan atas nama PJTKI di luar negeri.
11. Perjanjian Kerjasama penempatan adalah perjanjian tertulis antara PJTKI dengan Mitra Usaha atau pengguna mengenai penempatan TKI yang mengatur tentang jangka waktu pemenuhan permintaan, hak dan kewajiban masing-masing pihak.
12. Surat Permintaan TKI ( Job Order) adalah surat permintaan tenaga kerja dari pengguna atau mitra usaha di luar negeri yang ditandatangani oleh pengguna atau Mitra Usaha.
13. Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara PJTKI dengan TKI yang memuat rencana penempatan TKI ke luar negeri, guna menjamin kepastian penempatan TKI oleh PJTKI.
14. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan pengguna, yang memuat hak dan kewajiban ke dua belah pihak.
15. Visa Kerja adalah izin masuk ke suatu negara untuk bekerja
16. Visa Kerja panggilan perorangan adalah izin masuk ke suatu negara untuk bekerja berdasarkan panggilan langsung dari pengguna.
17. Bank Peserta Program Penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut Bank Peserta Program, adalah Bank yang berpartisipasi dalam pelaksanaan penempatan TKI ke luar negeri.
18. Asuransi perlindungan adalah suatu sistem perlindungan yang memberikan jaminan atas resiko yang dialami TKI mulai dari pra penempatan, selama penempatan sampai purna penempatan.
19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pembina Penempatan Tenaga Kerja Departemen Tenaga kerja.
20. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

Penempatan TKI diselenggarakan secara tertib efisien dan efektif untuk meningkatkan perlindungan, kesejahteraan tenaga kerja, perluasan lapangan kerja, kualitas tenaga kerja dan peningkatan penerimaan devisa dengan memperhatikan harkat dan martabat manusia, bangsa dan negara.

Pasal 3

(1). Penempatan TKI dapat dilakukan kesemua negara dengan ketentuan:
a. negara tujuan memiliki peraturan adanya perlindungan tenaga kerja asing;
b. negara tujuan membuka kemungkinan kerjasama bilateral dengan negara Indonesia di bidang
penempatan TKI.
c. Keadaan di negara tujuan tidak membahayakan keselamatan TKI.
(2). Penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan potensi TKI untuk bekerja di berbagai jenis pekerjaan atau jabatan di darat, laut dan udara.

Pasal 4

(1) Pelayanan penempatan TKI dilakukan dengan benar, tertib, mudah, cepat dan tanpa diskriminasi.
(2) Pelayanan Penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari kegiatan pra penempatan, selama penempatan, sampai purna penempatan.

Pasal 5
Untuk mencapai sasaran program penempatan TKI ke luar negeri dilakukan sosialisasi oleh instansi pemerintah dengan mengikutsertakan peran masyarakat.

Pasal 6

Promosi dan pemasaran jasa TKI di luar negeri dilaksanakan oleh lembaga swasta dan atau instansi pemerintah

Pasal 7

Penempatan TKI dilakukan oleh lembaga pelaksana yang terdiri dari:

a. PJTKI;
b. instansi pemerintah atau badan usaha milik negara;
c. badan usaha swasta untuk kepentingannya sendiri;

BAB II
PERUSAHAAN JASA TENAGA KERJA INDONESIA


Bagian Kesatu
Persyaratan SIUP-PJTKI

Pasal 8

(1). PJTKI sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a wajib memiliki SIUP-PJTKI.
(2). Untuk mendapatkan SIUP-PJTKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon mengajukan permohonan tertulis dengan memenuhi persyaratan:
a. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi yang dalam akte pendirian atau anggaran dasarnya mencantumkan adanya kegiatan di bidang penempatan TKI.
b. mempunyai kantor dan peralatan kantor yang lengkap serta alamat yang jelas sesuai dengan surat keterangan domisili dari instansi yang berwenang;
c. mempunyai NPWP;
d. mempunyai jaminan deposito pada bank peserta program sebesar Rp. 250.000.000,-( dua ratus
lima puluh juta rupiah ) atas nama menteri;
e. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akte pendirian perusahaan sekurang-kurangnya Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah );
f. mempunyai tempat penampungan TKI yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku atau surat pernyataan tentang kesanggupan penyediaan sarana dan
prasarana akomodasi sesuai keperluan untuk proses persiapan penempatan TKI;
g. surat keterangan undang-undang gangguan;
h. mempunyai bukti wajib lapor ketenagakerjaan sesuai dengan undang-undang No. 7 tahun 1981;
i. mempunyai rencana kegiatan perusahaan minimal untuk 3 (tiga) tahun kalender berturut-turut yang meliputi:
1). Kegiatan pemasaran;
2). Penyediaan TKI;
3). negara tujuan jumlah TKI yang akan ditempatkan, dan jenis jabatan;
4). perlindungan TKI;
5). organisasi pelaksana;
6). keuangan

j. mempunyai pegawai yang berpengalaman di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan surat pengalaman kerja;
k. khusus bagi badan hukum yang berbentuk koperasi harus mendapat rekomendasi dari instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perkoperasian setempat;
l. penanggung jawab perusahaan atau badan hukum pemohon tidak pernah dijatuhi sanksi pidana 5 (lima ) tahun atau lebih berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3). Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat rangkap 2 (dua) dengan materai cukup.

Pasal 9
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal melalui Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat sesuai dengan domisili pemohon dengan melampirkan copy bukti persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) dengan menunjukkan aslinya.
(2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dalam 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan, harus meneliti kelengkapan dan keabsahan syarat- syarat permohonan tersebut serta mengadakan pemeriksaan langsung ke perusahaan.
(3) Kepala Kantor wilayah Departemen Tenaga Kerja bersama Tim Evaluasi melakukan penilaian terhadap kelayakan rencana kegiatan perusahaan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja.
(4) Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Kepala kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja yang keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur instansi terkait.
(5) Dalam hal permohonan dinilai telah memenuhi persyaratan dan kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja membuat rekomendasi kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal untuk penerbitan SIUP-PJTKI.
(6) Dalam hal persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap, Kepala Kantor wilayah Departemen Tenaga Kerja segera menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemohon agar melengkapi persyaratan dalam waktu selambat-lambatnya 6 (Enam) hari kerja sejak surat pemberitahuan tersebut diterima oleh pemohon.
(7) Apabila kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi, Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja melakukan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(8) Apabila kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja harus membuat surat penolakan disertai pengembalian berkas permohonan.

Pasal 10
(1). Direktur Jenderal atas nama Menteri dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan dan rekomendasi dari Kepala Kantor wilayah Departemen Tenaga Kerja menetapkan keputusan tentang:
a. penerbitan SIUP-PJTKI apabila permohonan dikabulkan atau
b. penerbitan surat penolakan apabila permohonan ditolak
(2). Direktur Jenderal dalam mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat meminta pertimbangan kepada tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.
(3). SIUP-PJTKI atau surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemohon oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SIUP- PJTKI atau surat penolakan tersebut diterima oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga kerja.
(4). PJTKI harus menyerahkan sertifikat asli deposito kepada Kepala kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja pada waktu mengambil SIUP-PJTKI
(5). Sertifikat asli deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disimpan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Tenaga Kerja.

Pasal 11
(1) Pencairan deposito hanya dapat dilakukan oleh menteri.
(2) Deposito sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) huruf d berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dengan perpanjangan otomatis (roll over ) dan bunganya menjadi hak PJTKI.

Pasal 12

(1) Pencairan deposito sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat (1), dilakukan untuk membiayai penyelesaian permasalahan TKI, apabila PJTKI yang bersangkutan tidak menyelesaikan sebagaimana mestinya.
(2) PJTKI wajib menyetor kembali jumlah uang yang telah dicairkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan hingga deposito tetap berjumlah Rp. 250.000.000,(dua ratus lima puluh juta rupiah ).

Pasal 13

Dalam hal terjadi perubahan mengenai alamat, pemegang saham atau pengurus perusahaan PJTKI wajib menyampaikan laporan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal yang tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari Kerja sejak adanya perubahan tersebut disertai dengan bukti perubahan.

Pasal 14

SIUP -PJTKI tetap berlaku sepanjang tidak terkena sanksi pencabutan.

Pasal 15

PJTKI yang telah memperoleh SIUP PJTKI harus melakukan kegiatan penempatan TKI selambat- lambatnya dalam waktu 12 ( dua belas ) bulan sejak menerima SIUP.

Bagian Kedua
Perwakilan Daerah dan Pewakilan Luar Negeri


Pasal 16


(1) PJTKI dapat membentuk Perwada
(2) dalam hal PJTKI membentuk Perwada, PJTKI wajib mendaftarkannya ke kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
Pasal 17

(1). Permohonan pendaftaran Perwada sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) harus disampaikan secara tertulis ke Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja dengan tembusan ke kantor Departemen Tenaga kerja setempat dengan melampirkan:
a. surat keputusan direksi tentang penetapan kepala Perwada dan atau penanggung jawab serta
wilayah kerjanya;
b. bukti kepastian alamat kantor dan adanya fasilitas yang memadai untuk pelaksanaan kegiatan
penempatan
c. struktur organisasi, tugas dan fungsi Perwada;
d. surat pengangkatan karyawan perwada;
(2). Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja melakukan penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 18

Perwada yang tidak terdaftar di Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja dilarang melakukan kegiatan penempatan TKI.

Pasal 19

Perwada dilarang melakukan kegiatan dalam bentuk apapun secara langsung dengan Mitra Usaha dan atau pengguna.

Pasal 20
(1). PJTKI dapat membentuk Perwalu, baik secara sendiri -sendiri maupun bersama-sama.
(2). Pembentukan Perwalu Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara setempat.
(3). PJTKI harus melaporkan keberadaan Perwalu kepada Kepala Perwakilan RI di negara setempat dan Direktur Jenderal dengan melampirkan:
a. nama dan alamat lengkap Perwalu;
b. surat keputusan direksi tentang dasar pembentuk serta penanggung jawab Perwalu;
c. struktur organisasi, tugas dan fungsi Perwalu.

BAB III
PELAKSANAAN PENEMPATAN

Bagian Kesatu
Pra Penempatan

Paragraf 1
Pendataan Calon TKI

Pasal 21

(1) Pendataan calon TKI dilaksanakan oleh petugas pengantar kerja pemerintahan dan atau petugas Perwada.
(2) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendapatkan permintaan TKI (job Order).

Pasal 22

(1) Pendataan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan foto copy jati diri (KTP) calon TKI, ijazah dan atau sertifikat keterampilan.
(2) Pendataan Calon TKI belum merupakan jaminan penempatan.

Pasal 23

Pendataan Calon TKI dilakukan dengan tidak memungut biaya.

Paragraf 2
Persyaratan Pendaftaran Penempatan

Pasal 24
(1). PJTKI yang akan melaksanakan penempatan TKI harus mempunyai Mitra Usaha dan atau Pengguna.
(2). Mitra Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi Persyaratan:
a. berbeban hukum dan memiliki izin usaha sebagai perusahaan jasa tenaga kerja dari instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangan negara setempat.
b. mempunyai alamat dan penanggung jawab yang jelas;
c. mempunyai perjanjian kerjasama penempatan.
(3). Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. badan hukum atau perorangan yang diizinkan mempekerjakan tenaga kerja asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan negara setempat:
b. mempunyai alamat yang jelas.
(4). PJTKI wajib mendaftarkan Mitra Usaha dan Pengguna pada Perwakilan R.I di negara setempat.

Pasal 25
(1). Untuk melakukan kegiatan penempatan TKI, PJTKI harus memiliki:
a. perjanjian kerjasama penempatan;
b. surat permintaan nyata TKI (job Order) atas nama PJTKI yang bersangkutan;
c. perjanjian penempatan TKI;
d. perjanjian kerja;
(2). PJTKI wajib melaporkan seluruh dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal

Pasal 26

(1) Perjanjian Kerjasama penempatan harus memuat tanggung jawab PJTKI dengan Mitra usaha atau Pengguna dalam perlindungan TKI.
(2) PJTKI harus mendaftarkan perjanjian kerjasama penempatan kepada Perwakilan R.I di negara setempat.

Pasal 27

(1). Surat permintaan TKI (job Order) dibuat sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara tujuan atau dengan menggunakan formulir bentuk PTKI-I terlampir.
(2). Surat permintaan TKI (job order) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat

a. jumlah TKI;
b. jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan;
c. kualifikasi TKI;
d. syarat-syarat kerja;
e. kondisi kerja;
f. jaminan sosial; dan
g. masa berlakunya surat permintaan.
(3). PJTKI harus mendaftarkan surat permintaan TKI (job order) kepada Perwakilan R.I di negara setempat.
(4). PJTKI wajib melaporkan rekapitulasi perolehan permintaan TKI setiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan menggunakan formulir bentuk PTKI-II terlampir.

Pasal 28

Perjanjian Penempatan TKI sekurang-kurangnya harus memuat:
a. kepastian waktu pemberangkatan calon TKI; b. biaya penempatan calon TKI ke negara tujuan;
c. jabatan atau pekerjaan calon TKI.

Pasal 29

PJTKI dilarang menempatkan TKI pada pekerjaan yang melanggar kesusilaan .

Pasal 30

(1). Perjanjian kerja sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat Pengguna;
b. jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan;
c. kondisi dan syarat kerja yang meliputi antara lain: jam kerja, upah dan cara pembayarannya upah lembur, cuti dan waktu istirahat, serta jaminan sosial.
(2). Masa berlakunya perjanjian kerja (2) tahun
(3). Dalam hal Pengguna adalah perorangan, maka perjanjian kerja harus sudah ditandatangani lebih dahulu oleh calon Pengguna.

(4). Dalam hal pengguna adalah instansi atau badan hukum, perjanjian kerja dapat berbentuk rancangan baku perjanjian kerja (master perjanjian kerja ).

(5). Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada Perwakilan R.I
di negara setempat.

Paragraf 3
Pendaftaran Penempatan Calon TKI

Pasal 31

(1) Dalam hal PJTKI dan atau Perwada telah memiliki surat permintaan TKI (job order) maka PJTKI dan atau Perwada wajib melaporkan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja atau BP2TKI tentang rencana kebutuhan TKI dari daerah setempat dengan menggunakan formulir bentuk PTKI-III terlampir serta dengan menunjukkan surat permintaan TKI (job order ).
(2) Kantor wilayah Departemen Tenaga kerja atau BP2TKI melakukan penilaian tentang kebenaran rencana kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) .
(3) Kebenaran rencana kebutuhan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
membubuhkan persetujuan pada surat permintaan TKI (job order ) yang asli.
(4) Setelah surat permintaan TKI (job oder) disetujui maka PJTKI dan atau Perwada dapat mulai melakukan penyuluhan, pendaftaran, dan seleksi calon TKI dengan menyampaikan rencana kebutuhan calon TKI dan rancangan perjanjian kerja yang akan diberlakukan, kepada kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.
(5) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh BP2TKI dana apabila di wilayah yang bersangkutan belum ada BP2TKI maka penilaian dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
(6) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan bersama-sama dengan Departemen Tenaga Kerja.

Pasal 32

Dalam penyuluhan calon TKI, harus dijelaskan kepada calon TKI mengenai:

a. Lowongan pekerjaan yang tersedia
b. syarat-syarat kerja yang memuat antara lain upah, jaminan sosial, waktu kerja, kondisi kerja, lokasi dan kondisi tempat kerja:
c. situasi dan kondisi negara tujuan;
d. hak dan kewajiban TKI;
e. biaya -biaya yang dibebankan kepada calon TKI;
f. persyaratan calon TKI.

Pasal 33

Setiap calon TKI mendaftar harus memenuhi syarat:

a. usia minimal 18 tahun, kecuali peraturan negara tujuan menentukan lain;
b. memiliki Kartu Tanda Penduduk;
c. sehat mental dan fisik yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
d. sekurang-kurangnya tamat SD, memiliki keterampilan atau keahlian atau pengalaman sesuai dengan persyaratan jabatan atau pekerjaan yang diperlukan;
e. ijin dari orang tua atau wali, suami, isteri.

Pasal 34

(1) PJTKI dan atau Perwada melaksanakan seleksi administratif dan seleksi keterampilan terhadap calon TKI yang telah mendaftar.
(2) PJTKI dan calon TKI yang telah lulus seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menandatangani perjanjian penempatan TKI dan diketahui oleh pejabat dari kantor Departemen Tenaga Kerja daerah rekrut.
(3) PJTKI atau Perwada harus membuat Kartu Identitas TKI (KITKI) dan daftar Nominasi calon TKI bagi mereka yang telah lulus seleksi dengan menggunakan formulir bentuk PTKI - IV dan V terlampir.

(4) PJTKI wajib menyerahkan Daftar Nominasi calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah ditandatangani oleh petugas yang berwenang dari PJTKI atau Perwada yang bersangkutan, kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dengan dilampiri foto copy KITKI

Pasal 35

PJTKI wajib memberangkatkan calon TKI selambat-lambatnya 3 (tiga ) bulan sejak diterbitkannya KITKI.

Paragraf 4
Pemberangkatan Calon TKI

Pasal 36

PJTKI dan atau calon TKI mengurus paspor ke Kantor Imigrasi setempat berdasarkan daftar nominasi calon TKI sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (2).

Pasal 37

Pengurusan visa kerja calon TKI dilakukan oleh PJTKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 38

(1) sebelum diberangkatkan calon TKI menandatangani perjanjian kerja yang isinya telah disetujui oleh pengguna sesuai ketentuan pasal 30.
(2) Penandatanganan perjanjian kerja dilakukan setelah calon TKI memperoleh visa kerja di hadapan dan diketahui oleh pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, di kantor BP2TKI atau Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.

Pasal 39

PJTKI dilarang mengganti atau mengubah perjanjian kerja yang telah ditandatangani oleh pejabat sebagaimana yang dimaksud pada pasal 38 ayat (2)

Pasal 40

Dalam hal tujuan mensyaratkan adanya tes kesehatan tambahan bagi calon TKI maka PJTKI mengurus pelaksanaan tes tersebut.

Pasal 41

Dalam hal persiapan pemberangkatan calon TKI membutuhkan tempat penampungan maka PJTKI wajib menyediakan akomodasi di tempat penampungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 42

(1) PJTKI wajib mengikutsertakan Calon TKI dalam program asuransi perlindungan TKI.
(2) Program asuransi perlindungan TKI sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilakukan oleh konsorsium asuransi perlindungan TKI sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 43

(1). PJTKI wajib memberikan pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) kepada para calon TKI sebelum diberangkatkan ke negara tujuan.
(2). Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya meliputi materi:
a. pembinaan mental kerohanian;
b. pembinaan mental, disiplin dan kepribadian;
c. adat istiadat dan kondisi negara tujuan; d. peraturan perundangan di negara tujuan;
e. tata cara keberangkatan;
f. program pengiriman uang (remittance ) dan tabungan;
g. kelengkapan dokumen TKI;
h. hak dan kewajiban TKI .
(3). Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) dilaksanakan bekerjasama dengan pihak lain dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 2 (dua) hari.
(4). Direktur Jenderal mengatur lebih lanjut pelaksanaan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 44

PJTKI wajib memberitahukan setiap pemberangkatan Calon TKI kepada Perwalu, Mitra Usaha, Pengguna dan Perwakilan R.I di negara tujuan.

Pasal 45

(1). Sebelum keberangkatan calon TKI, PJTKI mengajukan permohonan rekomendasi bebas fiskal luar negeri kepada kepala BP2TKI atau Kepala Kantor Wilayah daerah asal calon TKI dengan melampirkan:

a. perjanjian kerja yang sudah ditandatangani para pihak;
b. bukti kepesertaan program asuransi perlindungan TKI;
c. paspor dan visa kerja.
(2). Kepala BP2TKI atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setelah meneliti persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan rekomendasi bebas fiskal luar negeri yang ditujukan kepada instansi pajak di daerah pemberangkatan.

Pasal 46

PJTKI wajib melaporkan hasil penempatan TKI secara berkala setiap bulan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja domisili PJTKI dan Direktur Jenderal dengan menggunakan formulir bentuk PTKI -VI terlampir.

Paragraf 5
Pembiayaan

Pasal 47

(1). Semua biaya penempatan TKI pada prinsipnya menjadi tanggung jawab pengguna kecuali
ditentukan lain atas persetujuan Direktur Jenderal.
(2). Biaya penempatan yang dapat dibebankan kepada calon TKI meliputi biaya:
a. dokumen jati diri tenaga kerja;
b. tes kesehatan;
c. visa kerja;
d. transportasi lokal;
e. akomodasi dan konsumsi;
f. uang jaminan sesuai dengan negara tujuan .
(3). Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, c, d, dan e ditetapkan oleh Direktur Jenderal setelah melakukan koordinasi dengan instansi dan lembaga yang terkait.

Pasal 48

PJTKI dilarang memungut biaya kepada calon TKI melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (2) dan (3)

Pasal 49

PJTKI wajib memberikan tanda bukti penerimaan yang sah atas pembayaran yang telah dilakukan oleh calon TKI.

Pasal 50

(1) Pembayaran biaya yang menjadi kewajiban calon TKI kepada PJTKI dilakukan dengan cara tunai atau diangsur sesuai kesepakatan antara calon TKI dengan PJTKI. (2) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengangsur, besarnya angsuran setiap bulan tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima per seratus ) dari gaji TKI yang diterima setiap bulan.
(3) PJTKI dapat membantu calon TKI untuk memperoleh kredit dari Bank Peserta Program untuk membayar biaya yang menjadi beban TKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 51

Dalam melakukan kegiatan penempatan TKI, PJTKI berhak menerima biaya jasa penempatan TKI (recruiting fee) yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bagian Kedua
Masa Penempatan TKI

Pasal 52

(1) PJTKI wajib menyelesaikan pemasalahan dan atau perselisihan yang terjadi antara TKI dengan Pengguna.
(2) Dalam menyelesaikan permasalahan dan atau perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PJTKI berkoordinasi dengan Perwalu atau Mitra Usaha dan dapat minta bantuan kepada Perwakilan R.I dengan memberitahukan atau menunjukkan bukti pendaftaran Perwalu dan atau Mitra Usaha serta dokumen yang berkaitan dengan penempatan TKI yang bersangkutan.

Pasal 53

Dalam hal TKI mendapat kecelakaan, sakit atau meninggal dunia di luar negeri, PJTKI wajib:

a. mengurus perawatan atau pemakaman jenazah sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui Perwalu dan Mitra usaha Usahanya.;
b. mengurus harta peninggalan dan hak-hak TKI yang belum diterima untuk diserahkan kepada ahli waris TKI yang bersangkutan;
c. melaporkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan pengawasan norma kerja selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak diterimanya informasi kecelakaan, sakit, atau meninggal dunia.
d. mengurus klaim asuransi dan menyampaikan kepada ahli waris TKI yang bersangkutan.

Pasal 54

Perwakilan R.I mengelola data TKI, memantau keberadaan TKI serta memberikan bantuan dalam rangka pembinaan dan perlindungan TKI di wilayah akreditasinya.

Pasal 5

PJTKI wajib mengurus kepulangan TKI karena berakhirnya perjanjian kerja menjalankan cuti
dan keberangkatan kembali ke negara tujuan setelah selesai menjalankan cuti .

Bagian Ketiga
Purna Penempatan TKI

Pasal 56

(1). PJTKI wajib mengurus kepulangan TKI ke daerah asal dalam hal:
a. perjanjian kerja telah berakhir;
b. TKI sakit atau bermasalah sehingga tidak menyelesaikan perjanjian kerja .
(2). Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PJTKI memberitahukan jadwal kepulangan TKI kepada Mitra Usaha dan atau Perwalu serta Perwakilan R.I di negara setempat selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sebelum tanggal kepulangan.
(3). Dalam mengurus kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJTKI wajib:
a. membantu penyelesaian permasalahan
b. mengurus dan menanggung kekurangan biaya perawatan TKI yang sakit atau meninggal dunia.
(4). PJTKI wajib melaporkan secara tertulis kepulangan TKI kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja daerah asal TKI dengan tembusan kepada BP2TKI setempat setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 5 (lima) bulan berikutnya.

Bagian Empat
Perpanjangan Perjanjian Kerja

Pasal 57

PJTKI melalui Mitra Usaha atau Perwalu wajib memantau TKI yang akan berakhir perjanjian kerjanya selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sebelum perjanjian kerjanya berakhir.

Pasal 58

(1). Bagi TKI yang masih berada di luar negeri, dan ingin memperpanjang perjanjian kerja dengan pengguna yang sama, maka Mitra Usaha dan atau Perwalu harus memberitahukan rencana perpanjangan perjanjian kerja tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum perjanjian kerjanya berakhir kepada PJTKI pengirim, Mitra Usaha, dan perwakilan R.I di negara setempat.
(2). PJTKI wajib mengurus perjanjian kerja perpanjangan.
(3). Perpanjangan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. isi perjanjian kerja sekurang-kurangnya sama dengan perjanjian kerja sebelumnya; b. jangka waktu perjanjian kerja perpanjangan 1 (satu) tahun;
c. perpanjangan asuransi perlindungan.
(4). Dalam perpanjangan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengguna harus
menanggung:
a. biaya asuransi perlindungan TKI sesuai ketentuan yang berlaku
b. legalisasi perjanjian kerja perpanjangan; dan
c. imbalan jasa bagi PJTKI dan Mitra Usaha.
(5). Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara PJTKI dengan Pengguna atau Mitra Usaha.
(6). Perjanjian kerja perpanjangan harus ditandatangani oleh TKI dan Pengguna dihadapan
pejabat Perwakilan R.I di negara setempat.
(7). Dalam hal perjanjian kerja perpanjangan telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka PJTKI yang bersangkutan bertanggung jawab terhadap TKI seperti halnya pada perjanjian kerja sebelumnya.

Pasal 59

(1). Bagi TKI yang akan kembali ke Indonesia karena berakhir perjanjian kerjanya dan ingin memperpanjang perjanjian kerja dengan Pengguna yang sama, maka TKI atau Pengguna atau Mitra Usaha harus memberitahukan rencana perpanjangan perjanjian kerja tersebut dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh ) hari sebelum perjanjian kerjanya berakhir kepada PJTKI dan Perwakilan R.I di negara setempat.
(2). Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. isi perjanjian kerja sekurang-kurangnya sama dengan perjanjian kerja sebelumnya;
b. jangka waktu perjanjian kerja perpanjangan 1 (satu) tahun;
c. perpanjangan asuransi perlindungan.
(3). Dalam perpanjangan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengguna harus
menanggung:
a. biaya asuransi perlindungan TKI sesuai ketentuan yang berlaku;
b. legalisasi perjanjian kerja perpanjangan;
c. imbalan jasa bagi PJTKI dan Mitra Usaha;
d. biaya re-entry visa;
e. biaya transportasi TKI kembali ke Indonesia dan berangkat
(4). Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara PJTKI dengan Pengguna atau Mitra Usaha.
(5). Perjanjian kerja perpanjangan harus ditanda tangani oleh TKI dan Pengguna dihadapan pejabat Perwakilan R.I di negara setempat sebelum TKI pulang ke Indonesia.
(6). Dalam hal perjanjian kerja perpanjangan telah ditandatangani, maka PJTKI yang bersangkutan bertanggung jawab terhadap TKI seperti halnya pada perjanjian kerja sebelumnya.

BAB IV
PENEMPATAN TKI OLEH INSTANSI PEMERINTAH BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA
SWASTA UNTUK KEPENTINGAN SENDIRI


Pasal 60

(1). Instansi pemerintah atau BUMN dapat menempatkan TKI ke Luar Negeri atas dasar kerjasama antara Pemerintah R.I dengan negara tujuan.

(2). Dalam melaksanakan penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) instansi pemerintah atau BUMN harus menyampaikan laporan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal, dan Perwakilan R.I di negara

Tujuan.

(3). Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri:
a. copy dokumen kerjasama antara instansi Pemerintah R.I dengan Pemerintah negara tujuan
b. copy perjanjian kerja antara TKI dengan Pengguna;
c. copy bukti kepesertaan program asuransi perlindungan TKI
(4). Direktur Jenderal mengeluarkan surat rekomendasi bebas fiskal luar negeri bagi TKI yang bersangkutan.

Pasal 61

Dalam hal terjadi perubahan jangka waktu penyelesaian pekerjaan atau perpanjangan perjanjian kerja, instansi pemerintah atau BUMN yang bersangkutan harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal dan Perwakilan R.I di negara tujuan.

Pasal 62

(1). Badan usaha dapat menempatkan TKI untuk kepentingan perusahaan sendiri setelah mendapat persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(2). Untuk mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan usaha swasta yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal dengan melampirkan:
a. surat keterangan yang menunjukkan bahwa Pengguna adalah perusahaan pemohon sendiri;
b. rancangan perjanjian kerja yang akan ditandatangani oleh calon TKI;
c. Pernyataan tertulis tentang kesediaan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keselamatan,
kesejahteraan dan perlindungan TKI.
d. copy bukti kepesertaan program asuransi perlindungan TKI.
(3). Surat Keterangan dan rancangan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a dan b harus diketahui perwakilan R.I di negara tujuan.
(4). Direktur Jenderal mengeluarkan surat rekomendasi bebas fiskal luar negeri bagi TKI yang bersangkutan.

BAB V
PENEMPATAN TKI PERORANGAN

Pasal 63

(1) TKI yang akan bekerja dengan menggunakan visa panggilan perorangan diberikan rekomendasi bebas fiskal luar negeri.
(2) Untuk mendapatkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) TKI yang bersangkutan harus melapor kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dengan menunjukkan visa kerja panggilan .
(3) Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menerbitkan Surat bebas Fiskal Luar Negeri kepada instansi pajak di daerah pemberangkatan.

BAB VI
PENEMPATAN TKI PELAUT


Pasal 64

Penempatan TKI Pelaut dilakukan dalam rangka sistem penempatan TKI, dan di Koordinasikan dengan instansi pemerintah dan lembaga swasta yang terkait.

Pasal 65

Penempatan TKI Pelaut dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku di dunia internasional untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hukum bagi TKI Pelaut dengan mengembangkan sistem kerjasama bilateral maupun multilateral dengan negara atau organisasi internasional yang berkompeten.

Pasal 66

Penempatan TKI Pelaut dilakukan oleh:

a. PJTKI spesialis pelaut;
b. perusahaan pelayaran nasional yang ditunjuk sebagai agen atau sebagai perwakilan dari perusahaan pelayaran internasional di luar negeri yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan yang diwakili dalam rekrut TKI untuk kepentingan perusahaan sendiri.
c. perusahaan pemegang SIUP-PJTKI atas dasar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
keputusan Menteri ini. Pasal 67
(1) PJTKI spesialis pelaut sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf a yang akan menempatkan TKI Pelaut ke kapal asing wajib memiliki surat ijin usaha penempatan TKI spesialis Pelaut.
(2) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf c, dalam melaksanakan penempatan TKI Pelaut harus mentaati ketentuan khusus yang berlaku bagi kegiatan penempatan TKI Pelaut.

Pasal 68

Persyaratan dan tata cara perijinan untuk perusahaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf b, serta ketentuan pelaksanaan penempatan TKI Pelaut diatur lebih lanjut dengan
keputusan bersama antara Direktur Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, dan Direktur Jenderal Perikanan Departemen Pertanian.

BAB VII
PEMBINAAN, PENGENDALIAN, DAN EVALUASI


Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 69

(1) Pembinaan terhadap kegiatan penempatan TKI dilaksanakan secara terkoordinasi dengan
mengikutsertakan instansi terkait baik di dalam maupun di luar negeri.
(2) Pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pembinaan kegiatan penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundangan - undangan yang berlaku.

Pasal 70

(1). Pembinaan penempatan TKI diarahkan kepada:
a. Penyempurnaan dan peningkatan kualitas pelaksanaan sistem penempatan TKI;
b. peningkatan kualitas pelayanan penempatan TKI;
c. pemberdayaan dan peningkatan kualitas perlindungan TKI, serta kesejahteraan TKI dan keluarga;
d. peningkatan kinerja perusahaan jasa tenaga kerja;
e. peningkatan kualitas TKI yang didukung dengan penambahan penerimaan devisa negara.
(2). Ruang lingkup pembinaan TKI meliputi aspek:
a. pengelolaan informasi
b. penyempurnaan regulasi;
c. koordinasi vertikal dan horizontal di antara instansi dan lembaga yang terkait;
d. Penegakan hukum.

Pasal 71

Untuk mencapai sasaran pembinaan penempatan TKI sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 dilakukan upaya secara terpadu melalui peningkatan efektivitas tugas dan fungsi Badan Koordinasi Penempatan TKI.

Bagian Kedua
Pengendalian


Pasal 72

(1) Kantor Departemen Tenaga Kerja atau BP2TKI daerah asal TKI harus menyampaikan laporan mengenai jumlah TKI dan jenis pekerjaan atau jabatan TKI yang direkrut dari wilayah kerjanya secara berkala, mingguan, bulanan, triwulan, tahunan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat dengan tembusan kepada Direktorat Jasa Tenaga Kerja Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja.
(2) Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja harus menyampaikan laporan rekapitulasi data tentang jenis pekerjaan atau jabatan TKI dan jumlah TKI yang direkrut dari wilayah kerjanya secara berkala: mingguan, bulanan, triwulan, dan tahunan kepada Direktur Jenderal dalam hal ini Direktorat Jasa Tenaga Kerja Luar Negeri.

Pasal 73

(1) Direktur Jenderal , dalam hal ini Direktorat Jasa Tenaga Kerja Luar Negeri harus melakukan pemantauan dan pengendalian laporan sebagaimana di maksud dalam pasal 72.
(2) Direktur Jenderal menyampaikan laporan kumulatif penempatan tenaga kerja ke Luar Negeri secara berkala: mingguan, bulanan, triwulan dan tahunan kepada Menteri.

Bagian Ketiga
Evaluasi

Pasal 74

(1) Direktur Jenderal melakukan evaluasi kinerja PJTKI baik secara berkala maupun insidental.
(2) Untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal membentuk Tim Evaluasi Kinerja PJTKI yang keanggotaannya terdiri dari instansi terkait dan unsur organisasi pelaksana penempatan TKI.
(3) Tim Evaluasi Kinerja PJTKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas memberikan saran kepada Direktur Jenderal mengenai tindak lanjut hasil Evaluasi.

BAB VIII
PENGAWASAN

Pasal 75

Pegawai Pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan terhadap ditaatinya peraturan ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
SANKSI

Pasal 76
(1). Sebagai upaya pembinaan PJTKI dan perlindungan calon TKI serta TKI, Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada PJTKI .
(2). Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. teguran tertulis
b. penghentian kegiatan sementara (skorsing)
c. pencabutan SIUP-PJTKI

Pasal 77

Teguran tertulis dijatuhkan kepada PJTKI apabila:

a. tidak melaporkan perubahan alamat, pemegang saham atau pengurus perusahaan PJTKI sebagaimana diatur dalam pasal 13; atau
b. tidak mendaftarkan keberadaan Perwada kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja
sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (2); atau
c. tidak melaporkan keberadaan Perwalu kepada Perwakilan R.I di negara setempat sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (3); atau
d. tidak mendaftarkan Mitra Usaha dan Pengguna pada Perwakilan R.I di negara setempat sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (4); atau
e. tidak melaporkan dokumen penempatan kepada Direktur Jenderal sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2); atau
f. tidak mendaftarkan perjanjian kerjasama penempatan dan atau surat permintaan TKI (job order) kepada Perwakilan R.I di negara setempat sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (2) dan pasal 27 ayat (3); atau
g. tidak melaporkan rekapitulasi perolehan permintaan TKI (job order) sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (4); atau
h. tidak memberitahukan keberangkatan calon TKI kepada Perwalu atau Mitra Usaha, Pengguna dan Perwakilan R.I tujuan sebagaimana diatur dalam pasal 44; atau i. menetapkan angsuran melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (2);
j. tidak melaporkan kepulangan TKI sebagaimana diatur dalam pasal 56 ayat (4)

Pasal 78

Penghentian kegiatan sementara (Skorsing) dijatuhkan kepada PJTKI, apabila:
a. telah pernah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana diatur dalam pasal 77; atau
b. tidak memenuhi kewajiban menyetor kembali deposito yang telah dicairkan sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (2): atau
c. Perwada melakukan kegiatan langsung dengan Mitra Usaha dan atau Pengguna sebagaimana diatur dalam pasal 19: atau
d. tidak mengikutsertakan TKI dalam program asuransi perlindungan TKI sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (1); atau
e. tidak melaksanakan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (1); atau
f. tidak menyelesaikan masalah TKI sebagaimana diatur dalam pasal 52 ayat (1); atau
g. tidak mengurus TKI dalam hal TKI mendapat kecelakaan, sakit, meninggal dunia di luar negeri sebagaimana diatur dalam pasal 53; atau

h. menempatkan tidak sesuai dengan perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1)

Pasal 79

Direktur Jenderal atas nama Menteri menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan SIUP- PJTKI apabila:
1. telah pernah dikenakan sanksi penghentian kegiatan sementara (skorsing) sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana diatur dalam pasal 78; atau
2. tidak memberangkatkan calon TKI dalam jangka waktu 3(tiga) bulan sejak pembuatan KITKI sebagaimana dimaksud dalam pasal 35; atau
3. tidak menyediakan tempat penampungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam pasal 41; atau
4. membebani biaya penempatan TKI melebihi biaya sebagaimana diatur dalam pasal 48; atau
5. mengganti atau mengubah perjanjian kerja yang sudah ditandatangani sebagaimana diatur dalam pasal 39; atau
6. menempatkan TKI pada pekerjaan yang melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam pasal 29.

Pasal 80

Dalam hal SIUP-PJTKI dicabut, maka PJTKI wajib melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. mengembalikan seluruh biaya yang telah diterima dari calon TKI sesuai dengan perjanjian penempatan
b. memberangkatkan calon TKI yang telah memiliki dokumen lengkap:
c. menyelesaikan permasalahan yang dialami TKI di negara tujuan sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja.

Pasal 81

Dalam hal SIUP-PJTKI dicabut, maka pencairan jaminan deposito sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat

(1) baru dapat dilakukan setelah 2 (dua) tahun sejak tanggal pemberangkatan TKI yang terakhir dilakukan oleh PJTKI.

Pasal 82

Dalam hal calon TKI tidak memenuhi perjanjian penempatan tanpa alasan yang sah. calon TKI yang bersangkutan harus mengembalikan seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh PJTKI sesuai dengan perjanjian penempatan TKI.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 83


SIUP-PJTKI yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/ 1994 dan keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor KEP-44/MEN/1994 masih tetap berlaku dengan syarat harus mengadakan penyesuaian dengan ketentuan yang ditetapkan dalam keputusan Menteri ini, selambat-lambatnya dalam jangak waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan berlakunya keputusan ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 84

Dengan dikeluarkan Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Mentari Tenaga Kerja Nomor PER-02/ MEN/1994 tentang Penempatan Tenaga Kerja di dalam dan di Luar Negeri dan keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-44/MEN/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri serta peraturan -peraturan lain yang menyangkut penempatan TKI ke Luar Negeri yang bertentangan dengan Keputusan ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 85

Permohonan SIUP-PJTKI yang telah diajukan kepada kepala kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat sebelum keputusan ini diberlakukan dan sedang proses penilaian tetap diproses berdasarkan ketentuan dalam keputusan Menteri ini.

Pasal 86

Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


sumber :
http://marubanababan-patriot.blogspot.com/2010/04/keputusan-menteri-tenaga-kerja-republik.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar